Jumat, 20 Maret 2009

MENGAPA UJIAN AKHIR NASIONAL BOCOR

Malam menjelang hari pertama Ujian Akhir Nasional (UAN), seorang siswa SMA meminta pendapat kepada penulis; ‘Pak, enaknya membeli bocoran, apa ndak..ya ?Satu set soal beserta jawabannya, dua ratus ribu rupiah…’. Sebagai seorang pendidik, mendengar hal itu terasa ‘nelangsa’. Kenelangsaan yang berulang setiap tahunnya, termasuk ketika masih bernama Ebtanas pelaksanaannya.

Bocornya perangkat uji kelulusan, sekarang bernama UAN, tidak bisa dipungkiri, karena hal itu ada, sungguhpun tidak terjadi di banyak tempat. Yang menjadi masalah bukanlah membuat orang terutama kalangan pendidik menjadi percaya atau tidak percaya, melainkan menelusuri dan menganalisa mengapa persoalan itu ada setiap tahunnya.

Mencari penyebab bocornya UAN, tidak bisa perhatian melulu ditimpakan kepada pihak sekolah maupun petugas piketnya. Bila dianalisa, ada beberapa pihak yang berkepentingan dalam hal ini. Pertama, keberadaan bandar-bandar beserta kelompok-kelompok pengecernya. Mereka boleh disebut investor, penyokong modal. Mereka eksis, tetap hidup layaknya bandar judi. Pada momen menjelang kelulusan siswa, para bandar siap bergerak mengerjakan agenda tahunannya, dengan mengatur jaringan dan segala akses yang dimilikinya. Pekerjaannya rapi dan sulit tersentuh hukum. Bila ada yang terjerat hukum, biasanya hanyalah pengecer atau oknum-oknum aksesnya.

Kedua, kelompok-kelompok siswa yang menunggu durian runtuh. Kelompok seperti ini bertebaran dimana-mana, ada di tiap-tiap sekolah. Mereka yang merasa kemampuan intelektualnya kurang, atau yang malas dan tidak termotivasi di lingkungan sekolah, biasanya mempunyai kemampuan soal duit, dan telah rentan serta parah menganggap segalanya dapat dibeli dengan uang, termasuk ilmu. Mereka membentuk jaringan sendiri cukup rapi dengan alat-alat komunikasinya, sehingga menjadi satu mata rantai dengan pengecer bocoran UAN.

Ketiga, oknum yang berhubungan langsung dengan pembuatan, pendistribusian dan penyimpanan paket soal UAN. Bujuk rayu dan iming-iming uang maupun harta terkadang mampu menggoyahkan keteguhan iman oknum-oknum tersebut hingga terpikat, dan iapun menjadi salah satu mata rantai kebocoran UAN.

Keempat, konsumen, yaitu mereka yang mau membeli tawaran bocoran. Para siswa dan orang tua siswa yang diposisikan sebagai konsumen menjadi sasaran pengecer maupun oleh kelompok siswa yang menunggu durian runtuh. Bila usahanya berhasil, bagi pengecer mendapatkan rupiah yang bisa disetorkan dan sebagian lagi sebagai upahnya. Bagi kelompok siswa, bila mampu menjual, ia akan mendapatkan uang saku yang tak terduga.

Menyikapi fenomena tersebut yang berulang-ulang setiap tahunnya, kurang bijaksana kiranya bila langsung menuding pihak sekolah sebagai biang keladinya. Ataupun langsung menyalahkan pihak kepolisian yang tidak tanggap sebelumnya hingga kurang berhasil memberantasnya sampai kini. Prestasi aparat yang berwenang dalam menanganimasalah itu sebatas pada penangkapan oknum-oknum yang terlibat atau beberapa pengecer, belum mampu memutus tuntas mata rantai sindikat kebocoran UAN.

Menjawab mengapa UAN bocor, ada beberapa argumen yang dapat disampaikan; Pertama, masih ada kebutuhan sebagian masyarakat akan jalan pintas, cara instan bagi siswa agar mudah melampauimomen ujian akhir. Sikap ambil mudahnya itu bisa pas berpaut dengan sikap ambil untungnya dari para sindikat bocoran ujian. Ibarat panci dengan tutupnya bisa pas melekat. Kedua, tipe soal UAN yang masih pilihan ganda, memberi peluang besar untuk bocor. Ddddengan jawaban yang hanya menulis pilihan A, B, C, D, atau E konsumen mudah tergiur untuk menerima soal dan jawaban bocoran. Melalui penghafalan atau teknik tertentu lainnya, mereka dimudahkan menjawab di ruang uji. Akan beda masalahnya jika materi UAN berupa pertanyaan esai (uraian, hitungan) terutama cara peserta ujian menyelesaikan soal-soal ujiannya. Ketiga, semua pihak yang berwenang terkesan enggan belajar dari pengalaman. Kurangnya antisipasi dan tindakan preventif untuk mencegah UAN bocor. Seyogyanya tidak mudah terperosok ke dalam lubang yang sama, untuk kedua kali, benar-benar diterapkan.

Setelah tahun ini, UAN mengalami kebocoran, departemen terkait beserta jajarannya pantas berkreasi mencari tindakan-tindakan preventif ditujukan untuk penyelamatan UAN tahun depan, 2002/2003. Belum terlambat pula untuk mengkaji ulang tipe soal UAN. Tetap menggunakan pilihan ganda atau berani mengubah menjadi soal esai.

Tindakan represif bilamana perlu diambil untuk meluluhlantakkan mata rantai sindikat kebocoran UAN oleh pihak yang berwajib, secara terus menerus. Kewajiban masyarakat pula untuk mengembalikan moral menuju tertib menuntut ilmu terutama bagi putra-putrinya. Keberanian semua pihak untuk berubah, niscaya akan meningkat menuju ke budaya yang lebih baik, meninggalkan budaya buruk :menunggu bocoran Ujian Akhir Nasional. Ataukah dirasa tidak perlu, karena toh hanya terjadi setahun sekali ? Memang tak sekedar ‘bocor’, ‘banjir’pun juga datang setahun sekali. Toh, kita juga belum bertindak apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar